Ada 2 alasan mengapa dasa titah (10 Perintah Tuhan, Keluaran 20:1-17) tidak popular lagi kata pendeta Agustina Laheba mengutip pendapat pendeta Eka Dharmaputra dalam kotbahnya di GPIB Shalom Depok 26 Juni 2011 lalu.
1. Orang modern menganggap dasa titah sebagai warisan sejarah yang bernilai tinggi, tapi tidak lagi memiliki manfaat praktis. Ia seperti benda seni yang perlu diletakkan di tempat khusus dan dijaga dengan hati-hati agar tidak sampai rusak.
Dengan dasar itu, dalam katekisasi pun dasa titah cuma hanya untuk dihapal.
2. Kita menganggap diri kita adalah umat perjanjian baru. Dasa titah telah direformalasi ulang (Matius 22:37-40) menjadi hukum kasih. Apalagi yang mereformulasi adalah Tuhan Yesus sendiri. Hasilnya pun lebih cocok dengan orang modern yang tidak suka dengan berbagai macam larangan-larangan itu.
Hukum kasih adalah hukum positif. Jika dihubungkan, bila dasa titah menunjukkan orang salah jalan, maka hukum kasih menunjukkan arah yang benar
Tapi sesunggguhnya menurut pendeta Agustina di dalam dasa titah ada kekayaan spiritual yang nilainya tidak akan pernah hilang. Ibaratnya baut-baut yang hilang di perjanjian baru bisa ditemukan di dasa titah.
Selain itu, perjanjian lama bukan hanya membahas persiapan kedatangan Tuhan Yesus, tapi juga mempersiapkan kedatangan Tuhan Yesus ke dunia ini. Dengan alasan itu dasa titah harus dan wajib diperhatikan, dihormati dan dihayati.
Bila diibaratkan, saat ingin menikah seseorang pasti harus tahu latar belakang pasangannya dulu. Tujuannya agar tidak salah pilih.
Contoh lain, saat kita akan memakan sejenis makanan tertentu kita pasti akan melihat harganya, repotnya saat membuatnya, dan sebagainya. Dan karena itu kita akan menghargai makanan itu.
Selain penjelasan-penjelasan di atas, untuk diketahui kata pendeta Agustina, pendekatan negatif pun saat ini perlu dijadikan pegangan. Dengan adanya larangan-larangan ini kita tidak sampai kebablasan melakukan berbagai pelanggaran yang membuat Tuhan marah.